Pertumbuhan dan perkembangan Anak dengan hambatan Penglihatan
A. Pengertian hambatan Penglihatan (Ketunanetraan)
Pengertian tunanetra tidak saja mereka yang buta,
tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang
dapat di manfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar.
Pengertian dari anak tunanetra (Soemantri, 2007 :
65) adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi
sebagi saluran penerima informasi dlam kegiatan sehari-hari seperti halnya
orang awas. Untuk mengetahui ketunanetraan dapat di gunakan suatu tes yang
dikenal sebagai tes Snellen Card. Perlu ditegaskan bahwa anak dikatakan
tunnetra apabila ketajaman penglihatnnya (visusnya) kurang dari 6/21. Yang
artinya, berdasarkan tes, anak hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter
yang oleh orang awas dibaca pada jarak 21 meter.
B. Faktor-faktor
Penyebab Ketunanetraan
Secara ilmiah ketunanetraan dapat disebabkan oleh 2
faktor:
1.
faktor dari dalam diri anak (internal)
faktor internal adalah faktor-faktor
yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan.
Faktor
internal tersebut misalnya :
a. gen
(sifat pembawaan keturunan)
b. kondisi
psikis ibu
c. kekurangan
gizi
d. keracunan
obat
e. dll.
2.
faktor dari luar diri anak (eksternal)
Faktor eksternal adalah
faktor-faktor yang terjadi sesudah bayi dilahirkan.
Faktor
eksternal tersebut misalnya :
a. kecelakaan
b. terkena
penyakit syphilis yang mengenai mata anak saat dilahirkan
c. pengaruh
alat bantu medis saat melahirkan sehingga sistem persyarafannya rusak
d. kurang
gizi
e. keracunan
f. virus
trachoma
g. panas
badan yang terlalu tinggi
h. dll.
C. Prevalensi Tunanetra
Dalam
teks pidato (Rita Sita Sitorus saat upacara pengukuhan sebagai guru besar
tetap ilmu kesehatan mata kedokteran Universitas Indonesia tahun 2010) , bahwa
prevalensi kebutaan anak diperkirakan berdasarkan 0.2-0.3/ 1000 anak di negara
maju dan 1.0-1.5/1000 anak di negara berkembang, yang sebagian besar tinggal di
asia. Secara global, prevalensi kebutaan diperkirakan 1/10 kebutaan dari
kelompok dewasa.
Indonesia
merupakan negara kepulauan dengan populasi sebesar 237,6 juta (biro pusat
statistic, 2010) dimana 71 juta (29,9%) diantaranya adalah anak di bawah usia
15 tahun, sehingga diperkirakan sekitar 80 juta adalah anak usia di bawah 16
tahun. Ekstrapolasi dari data global bahwa 1.0/1000 anak di Negara berkembang
mengalami kebutaan akan menghasilkan estimasi kebutaan sekitar 80.000 anak buta
di Indonesia, sedangkan bila menggunakan dataUNder-5 Mortality Rates (U5MRs)
sebesar 0,7/1000 untuk Indonesia , maka anggka estimasinya sekitar 56.000 anak
buta di Indonesia.( Keeffe, Jill journal:publish)
D. Karakteristik Pertumbuhan Fisik Anak
Tunanetra
Ciri-ciri Fisik anak Low Vision:
(a) sekeliling mata memerah, bulu mata menutup pandangannya;
(b) mataberair atau mata memerah;
(c) sering ada timbil di mata atau merasa gatal; dan
(d) rasa pening,sakit kepala, atau rasa mual
E. Karakteristik dan
Permasalahan Pertumbuhan Otak Anak Tunanetra
Menurut (Nelson2000), pertumbuhan
Otak pada Manusia tergantung pada pengalaman awal pembentukan sinaps Meliputi 3
Ranah Yaitu:
1.
Sensory Patthways( Penglihatan dan
Pendengaran)
2.
Bahasa
3.
Fungsi Kecerdasan Yang lebih tinggi
4.
Yang jika digambarkan dalam bentuk
grafik sebagai berikut:
Pada grafik diatas dapat kita ketahui bahwa idealnya pada 3 ranah perkembangan otak tersebut hendaknya berkembang secara bersamaan, akan tetapi pada tunanetra bagian sensorynya mengalami hambatan khususnya pada penglihataan.
Pada umumnya para ahli yakin bahwa
kehilangan penglihatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
kemampuan memahami dan menggunakan bahasa, dan secara umum mereka berkesimpulan
bahwa tidak terdapat defisiensi dalam bahasa anak tunanetra. Mereka mengacu
pada banyak studi yang menunjukkan bahwa siswa-siswa tunanetra tidak berbeda
dari siswa-siswa yang normal dalam hasil tes intelegensi verbal. Mereka juga
mengemukakan bahwa berbagai studi yang membandingkan anak-anak tunanetra dan
normal tidak menemukan perbedaan dalam aspek-aspek utama perkembangan
bahasa. Karena persepsi auditif lebih berperan daripada persepsi visual sebagai
media belajar bahasa, maka tidaklah mengherankan bila berbagai studi telah
menemukan bahwa anak tunanetra relatif tidak terhambat dalam fungsi bahasanya.
Banyak anak tunanetra bahkan lebih termotivasi daripada anak normal untuk
menggunakan bahasa karena bahasa merupakan saluran utama komunikasinya dengan
orang lain. Secara konseptual sama bagi anak tunanetra maupun anak normal, karena
makna kata-kata dipelajarinya melalui konteksnya dan penggunaannya di dalam
bahasa. Sebagaimana halnya dengan semua anak, anak tunanetra belajar kata-kata
yang didengarnya meskipun kata-kata itu tidak terkait dengan pengalaman nyata
dan tak ada makna baginya. Kalaupun anak tunanetra mengalami hambatan dalam
perkembangan bahasanya, hal itu bukan semata-mata akibat langsung dari
ketunanetraannya melainkan terkait dengan cara orang lain memperlakukannya.
Ketunanetraan tidak menghambat pemrosesan informasi ataupun pemahaman
kaidah-kaidah bahasa.
Karena kurangnya stimulasi
visual,perkembangan bahasa anak tunanetra juga
tertinggal dibanding anak awas. Pada anak tuna netra, kemampuan kosakata
terbagi atas dua golongan, yaitu kata-kata yang berarti bagi dirinya
berdasarkan pengalamannya sendiri, dan kata-kata verbalitas yang diperolehnya
yang diperolehnya dari orang lain yang ia sendiri sering tidak memahaminya.
Komunikasi non verbal pada anak tunanetra juga merupakan hal yang kurang
dipahaminya karena kemampuan ini sangat tergantung pada stimulasi visual dari
lingkungannya. Dalam hal pemahaman bahasa, berbagai hasil penelitian bahwa
dibandingkan dengan anak awas, kosakata anak tunanetra cenderung bersifat
definitif, anak awas cenderung lebih luas. Seperti halnya anak awas, anak
tunanetra dapat mempertahankan pengalaman-pengalaman khusus tetapi kurang
terintegrasi . Anak tunanetra dapat mempertahankan pengalaman-pengalaman khusus
tetapi kurang terintegrasi. Anak tunanetra juga cenderung menghadapi masalah
konseptualisasi yang abstrak berdasar pandangan yang kongkret dan fungsional.
F. Karakteristik dan
Permasalahan Perkembangan Motorik Anak Tunanetra
Perkembangan motorik anak tunanetra cenderung lambat
dibandingkan dengan anak awas pada umumnya. Kelambatan ini terjadi karena dalam
perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi fungsional antara
neuromuscular system (sistem persyarafan otot) dan fungsi psikis (kognitif,
afektif, dan konatif), serta kesempatan yang diberikan oleh lingkungan. Pada
anak tunanetra mungkin fungsi neuromuscular systemnya tidak bermasalah tetapi
fungsi psikisnya kurang mendukung sehingga manjadi hambatan tersendiri dalam
perkembangan motoriknya.
Berikut adalah tahap perkembangan perilaku motorik
permulaan dalam kaitannya dengan fungsi penglihatan. (Soemantri, 2007: 77-79)
1. Tahap
sebelum berjalan
Perkembangan bayi untuk sampai tahap
berjalan harus melalui tahapan menegakkan kepala, telungkup, merayap,
merangkak, dan seterusnya samapi akhirnya dapat berjalan. Demikian dengan anak
tunanetra juga mengikuti fase perkembangan perilaku motorik yang ama, hanya
saja kecepatnya yang berbeda akibat dari kurangnya rangsangan visual. Akibat
ketunanetraan tersebut, gangguan dan hambatan yang terjadi dalam perkembangan
koordinasi badan akan berpengaruh pada perilaku motporik tunanetra dikemudian
hari (jsetelah dewasa)
a. Koordinasi
tangan
Pada bayi normal pada usia 16 minggu,
matanya akan mengkuti benda yang bergerak dan berusaha untuk menjangkaunya.
Tetapi pada bayi tunanetra, hal teseut tidak di alami dengan sendirinya. Karena
itu perlu diciptakan suatu lingkungan tersendiri sebagai pengalaman pengganti
yang mapu merangsang perkembangan gerak tunanetra sekaligus mengurangi
keterlambatan perkembangan. Bagaimanapun juga hambatan dalam perkembangan
koordinasi tangan yang baik akan berpengaruh pada berbagai aktivitas kemudian
seperti dalam jabat tangan, memegang suatu benda, serta keterlambatan dalam
latihan persiapan membaca huruf braile.
b. Koordinasi
badan
Pada usia 18 minggu bayi normal mulai
belajar mengontrol gerak kepalanya. Tetapi pada bayi tunanetra cenderung diam
atau mengadakan gerakan-gerakan yang kurang berarti yang kemudian disebut
dengan blindism, seperti menusuk-nusuk mata dengan jarinya,
mengangguk-anggukkan kepala, menggoyang-goyangkan kaki, atau sejenisnya yang
umunya kurang enak di pandang. Tanpa di sadari kebiasaan terhadap gerakan-gerakan
ini biasanya terbawa samapi dewasa.
2. Tahap
berjalan
Pada anak tunanetra dalam usia yang
sama (bayi normal: 15 bulan) sangat kecil kemungkinannya dapat bergerak sama
dengan anak awas. . Ia akan berjalan pada usia yang lebih tua dari usia anak
awas, hal ini karena kurangnya motivasi atau pendorong baik yang sifatnya
internal maupun eksternal untuk melangkahkan kakinya pada posisi berdiri dengan
maksud mengambil benda-benda di sekitarnya. Ia tidak mampu mengidentifikasi
melalui indra pengelihatannya segala objek atau peristiwa yang ada di depannya.
Karenanya anak tunanetra sering mengalami ketakutan kecemasan ketika akan
melangkahkan kakinya. Kondisi ini bisa cenderung dibawa ssmpai dewasa sehingga
anak tunanetra akan memilih untuk tetap tunggal di rumah atau tempat yang sudah
di kenalnya dan menghindari untuk melakukan eksplorasi atau orientas dan
mobilitas ke tempat-tempat asing.
Kesempatan dari lungkungan yang di
berikan kepada anak juga seringkali menghambat perkembangan perilaku
motoriknya. Sikap over protektif, kasihan, tak acuh, serta salah pengertian
tentang kebutuhan, mengakibatkan keterbatasan anak dalam memperoleh pengalaman
dan keterampilan motorik tertentu. Salah satu keterbatasan yang paling menonjol
pada anak tunanetra ialah kemampuan mobilitas (kemampuan berpindah-pindah
tempat).
H.
Karakteristik dan permasalahan perkembangan sosial emosional
Anak tunanetra lebih
banyak menghadapi masalah dalam perkembangan sosial. Hambatan-hambatan tersebut
terutama muncul sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari
ketunanetraannya. Kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan social
yang lebih luas atau baru, perasaan-perasaan rendah diri, malu sikap-sikap
masyarakat yang seringkali tidak menguntungkan seperti penolakan, penghinaan,
sikap tak acuh, ketidakjelasan tuntunan social, serta terbatasnya kesempatan
bagi anak untuk belajar tentang pola-pola tingkah laku yang diterima merupakan
kecenderungan tunanetra yang dapat mengakibatkan perkembangan sosialnya menjadi
terlambat. Anak tunanetra yang mengalami pengalaman sosial yang menyakitkan
pada usia dini cenderung akan menunjukkan perilaku untuk menghindar atau
menolak partisipasibsosial atau pemilihan sikap sosial yang negatif pada
tahapan perkembangan berikutnya. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya
penyimpangan dalam perkembangan sosial anak tunanetra, sikap dan perlakuan
orang tua dan keluarga tunanetra nampaknya harus menjadi perhatian terutama
pada usia dini.
Masa sosialisasi yang
sesungguhnya akan terjadi pada saat anak memasuki lingkungan pendidikan,
sekolah. Bagi anak tunanetra memasuki sekolah atau lingkungan yang baru adalah
sangat kritis, apalagi sudah merasakan dirinya berbeda dengan orang lain yang
tentunya akan mengundang berbagai reaksi tertentu yang mungkin menyenangkan
atau sebaliknya.
Perkembangan emosi anak
tunanetra akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan anak yang awas.
Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan anak
tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa kanak-kanak, anak tunanetra
mungkin akan melakukan proses belajar mencoba-coba untuk menyatakan emosinya,
namun hal ini tetap dirasakan tidak efisien karena dia tidak dapat melakukan
pengamatan terhadap reaksi lingkungannya secara tepat. Akibatnya pola emosi
yang ditampilkan mungkin berbeda atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan
oleh diri maupun lingkungannya. Perkembangan emosi anak tunanetra akan semakin
terhambat bila anak tersebut mengalami deprivasi emosi, yaitu keadaan dimana
anak tunanetra tersebut kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman
emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, dan
kesenangan. Masalh lain yang sering muncul dan dihadapi dalam perkembangan
emosi anak tunanetra ialah di tampilkannya gejala-gejala emosi yang tidak seimbang
atau pola-pola emosi yang negatif dan berlebihan.
Dapat ditarik
kesimpulan permasalahan perkembanagn sosial dan emosi pada anak tunanetra
sangat bergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan keluarga anak tuanetra
itu sendiri.
I. Perkembangan
Kognitif Anak Tunanetra
Akibat dari ketunanetraan yang dialami oleh anak,
maka pengenalan atau pengertian terhadap dunia luar anak tidak dapat diperoleh
secara utuh. Akibatnya perkembangan kognitif anak tunanetra cenderung terhambat
dibandingkan dengan anak-anak normal. Hal ini disebabkan perkembangan kognitif
tidak saja erat kaitannya dengan kecerdasan tetapi juga dengan kemampuan indera
penglihatannya.
Karena mengalami keterbatasan dalam melihat, anak
tunanetra hanya dapat menerima rangsang melalui pemanfaatan indera-indera lain
di luar indera penglihatannya. Anak tunanetra biasanya menggantikan indera
penglihatannya dengan indera pendengaran sebagai saluran utama penerima
informasi. Dengan indera pendengaran anak tunanetra hanya mampu mendeteksi dan
menggambarkan tentang arah, sumber, jarak suatu objek, ukuran dan kualitas
ruangan, tetapi tidak mampu memberikan gambaran yang konkret mengenai bentuk,
kedalaman, warna, dan dinamikanya. Untuk mengenal bentuk, posisi, ukuran, dan
perbedaan permukaan melalui indera perabaan. Karena itu bagi tunanetra setiap
bunyi yang didengarnya, bau yang diciumnya, kualitas kesan yang dirabanya, dan
rasa yang dicecapnya memiliki potensi dalam pengembangan kemampuan kognitifnya.
J.
Dampak Permasalahan Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Tunanetra Bagi Keluarga,
Masyarakat, dan Penyelenggara Pendidikan
a. Orang
Tua
Reaksi orang tua dalam menerima
kehadiran anaknya yang tunanetra akan sangat berpengaruh terhadap keseluruhan
perkembangan pribadi anak dikemudian hari. Reaksi orang tua terhadap
ketunanetraan anaknya dapat dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu :
1. Penerimaan
secara realistic terhadap anak dan ketunanetraannya
Sikap ini ditujukan dengan memberi
kasih sayang yang wajar serta memberi perlakuan yang sama dengan anak
lainnya.mereka juga terbuka terhadap permasalahan yang dihadapi anak dan
keluarganya.
2. Penyangkalan
terhadap ketunanetraan anak
Ketunanetraan
anak biasanya ditanggapi dengan sikap yang terbuka, tetapi disertai dengan alas
an-alasan yang tidak realistic terhadap kecacatannya. Terutama terhadap
kebutuhan dan permasalahannya. Dalam pendidikan, orang tua seringkali tidak
percaya bahwa anaknya perlu layanan pendidikan khusus dan menyangkal bahwa
akhirnya prestasinya rendah.
3. Overprotection atau
perlindungan yang berlebihan
Biasanya
dilakukan orang tua sebagai kompensasi karena ketunanetraan anaknya dirasakan
sebagai akibat dari perasaan bersalah atau berdosa. Sikap ini cenderung tidak
menguntungkan anak karena akan menghambat perkembangan dan kematangan anak
terutama dalam aspek kemandirian.
4. Penolakan
secara tertutup
Biasanya
ditunjukkan dengan sikap menyembunyikan anaknya dari masyarakat. Ia tidak ingin
diketahui bahwa ia memiliki anak yang tunanetra, tidak peduli, tidak
menyayangi, dan cenderung mengasingkan anaknya dari lingkungan keluarga.
5. Penolakan
secara terbuka
Biasanya
ditunjukkan dengan sikap bahwa secara terus terang ia menyadari ketunanetraan
anaknya, tetapi sebenarnya secara rasio maupun emosional ia tidak pernah dapat
menerima kehadiran anaknya. Orang tua yang demikian cenderung ingin mencari
tahu sebab-sebab ketunanetraan anaknya pada orang lain atau para ahli, namun
tidak pernah menemukan jawabannya dan pada akhirnya bersikap masa bodoh dan
tidak peduli dengan kebutuhan anaknya.
b. Masyarakat
Beberapa
pandangan orang awas terhadap anak tunanetra baik yang bersifat positif maupun
negatif menurut penelitian para ahli, antara lain:
1. Pada
umumnya memliki sikap tidak berdaya
2. Ketergantungan
3. Memiliki
tingkat kemampuan rendah dalam orientasi waktu
4. Tidak
suka berenang
5. Kaku
6. Mudah
mengalami kebingungan ketika memasuki lingkungan baru dengan menunjukkan
perilaku-perilaku yang tidak tepat
7. Mudah
frustasi
8. Peka
terhadap suara, perabaan, ingatan
9. Keterampilan
dalam memainkan alat musik
10. Ketertarikan
yang tinggi terhadap nilai-nilai moral dan agama
Sebagian besar orang awam percaya
bahwa ketunanetraan disebabkan oleh hukuman atas dosa-dosa orang tuanya. Mereka
juga berpendapat bahwa penyandang tunanetra memiliki masalah pribadi dan sosial
yang lebih besar dibandingkan dengan orang awas.
c. Penyelenggara
pendidikan
Guru sebagai
penyelenggara pendidikan pada umumnya (guru umum dan guru PLB) cenderung
bersikap mengesampingkan tunanetra, hal tersebut dapat dimaklumi karena para
guru biasa umumnya tidak pernah berhubungan dengan anak tunanetra didalam
kelas. Namun para guru khusus (guru PLB) cenderung lebih bersikap positif
terhadap anak tunanetra. Beberapa penelitian para ahli menunjukkan bahwa
guru-guru pada umumnya memiliki sikap yang cukup positif terhadap pendidikan
anak berkebutuhan khusus, termasuk anak tunanetra.
K.
Deteksi Dini Anak Tunanetra
Untuk mengetahui apakah
seorang anak mengalami kelainan ketunanetraan atau tidak, sejak anak masih
kecil sudah dapat dilakukan yaitu dengan memainkan sesuatu benda yang
berwarna-warni dan atau dengan benda yang bercahaya di hadapan anak. Pada anak
yang normal tentu dengan adanya rangsangan tadi akan bereaksi. Bila benda itu
digerakkan maka penglihatan anak akan mengikuti ke arah benda tadi digerakkan.
Tetapi bila ternyata dengan adanya rangsangan tadi anak tidak bereaksi maka
kita harus curiga dengan keadaan tersebut.
Berikuta tanda-tanda yang dapat berarti
anak mengalami kesulitan melihat:
a.
Mata
atau kelopak mata merah, bernanah, dan terum mengeluarkan air mata.
b.
Mata
terlihat tidak jernih, berkerut, atau berkabut, atau luka, atau masalah-masalah
lain yang kelihatan jelas
c.
Salah
satu atau kedua manik mata (bagian tengah mata yang berwarna hitam) terlihat
abu-abu dan puih
d.
Pada
usia 3 bulan, anak tidak meraih benda-benda yang di depannya, kecuali jika
benda itu berbunyi atau menyentuhnya.
e.
Usia
3 bulan, mata anak masih belum mengikuti objek atau cahaya yang di gerakkan di
depannya
f.
Mata
juling atau salah satu mata berputar ke atas atau keluar, salah satu berbeda
gerakkanya dari mata yang lain. (beberapa mata juling adalah hal yang normal
sampai usia 6 bulan)
g.
Anak
memicingkan mata (separuh menutu matanya) atau meningkatkan kepala untuk maraih
benda-benda
h.
Anak
lebih lambat mulai menggunakan tangnya, bergerak kesana-kemari, atau berjalan,
di bandingkan dengan anak-anak yang normal, dan dia sering menubruk benda atau
kelihatan canggung.
i.
Anak
tidak begitu tertarik apad objek-objek yang berwarna terang, atau gambar-gambar
dan buku. Atau dia mendekatkan benda-benda tersebut dekat sekali dengn
wajahnya.
j.
Kesulitan
melihat setelah matahari terbenam (rabun senja)
k.
Di
sekolah anak tidak dapat membaca huruf-huruf di apapn tulis. Atau di atidak
dapat membaca tulisa kecil dari buku.
Atau menjadi lelah, atau sering sakit kepala bila dia membaca.
Daftar Pustaka
Corn. N . 1983. Visual
Function: A Model for individuals With
Low Vision. Journal Vision Impairment and Blind, 77,8,p.374
Keeffe, Jill. Penilaian
penglihatan Kurang Awas di Negara-negara Berkembang. Buku 2. Penilaian
Penglihatan fungsional. Australia : Departement of Ophthamology, Word
Health Organization Collaborating Centre for the Prevention of Blindness,
University of Melbourne.
Nelson & Philips. 2000. Human Brain Development : eds
Sitorus, RS . (2010).
Eliminasi Kebutaan Anak di Indonesia Sejalan Dengan Millenium
Development Goals (MDGs) dan Vision 2020 Konsep dan Strategi. Jakarta: Pidato pada
Upacara Pengukuhan guru Besar Tetap dalam Ilmu Kesehatan Mata pada Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Soemantri, Sutjihati. 2007. “Psikologi
Anak Luar Biasa”. Karakteristik dan Masalah Perkembangan Anak Tunanetra,
65-91. Bandung: PT. Refika Aditama.
Comments
Post a Comment